Nov 21, 2007

HUBUNGAN BILATERAL: INDONESIA-RUSSIA

21 ARSIP KREMLIN.RU*
Henny Saptatia Sujai**

Sebelum kunjungan Presiden Vladimir Vladimirovich Putin ke Indonesia, situs resmi Istana Presiden Republik Federasi Rusia ”Kremlin.ru” memuat lengkap arsip dokumen hubungan Indonesia-Rusia yang terjadi sejak Vladimir Putin menjabat sebagai presiden. Sebanyak 21 arsip dokumen Kremlin ini disajikan dalam Bahasa Rusia.

Informasi resmi ini tampaknya sengaja disajikan bagi wartawan Rusia yang ingin meliput mampirnya Presiden Putin ke Jakarta sebelum kunjungannya ke APEC di Australia. Kremlin tentu menyadari bahwa kebekuan hubungan Indonesia-Rusia sejak pertengahan 60-an hingga kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet pada 7–12 September 1989, telah menyebabkan defisitnya materi rujukan bagi para pewarta untuk menjalankan tugas.

Pada urutan pertama deretan arsip dokumen tersebut, Kremlin memuat sebuah artikel berisi kronologi hubungan kedua negara. Dalam artikel dipaparkan bahwa hubungan Rusia-Indonesia, yang pada waktu itu di bawah koloni kerajaan Belanda, sesungguhnya terjadi sejak 1885, yaitu ketika Imperium Rusia mengirim seorang konsul pertamanya ke Batavia.

Artikel kronologis itu pun memaparkan berbagai lawatan pemimpin kedua negara, baik ke Rusia maupun Indonesia. Lawatan Presiden Soekarno ke Uni Soviet mendapat perhatian cukup besar. Kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Uni Soviet bukan terjadi pada 1955 seperti ditulis dalam artikel opini sebuah harian nasional (5 September 2007), melainkan terjadi pada 28 Agustus–12 September 1956. Presiden RI yang mempesona rakyat Rusia itu tidak hanya satu kali melakukan lawatan ke Uni Soviet. Bahkan, dalam rangka lawatan pertamanya, setelah mampir Cekoslovakia, dalam perjalanan kembali menuju China, Soekarno, pada 26–29 September, melintasi kawasan Rusia dengan kereta api (kini, sesuai dengan rute Trans-Siberia) melewati berbagai kota Rusia di kawasan Ural dan transit di beberapa kota, seperti Soci, Kuibishev, Irkuts.

Setelah kunjungan pertama itu, pada masa pemerintahannya, Soekarno setidaknya melakukan tiga kali lawatan lagi, yaitu pada 7–13 Mei 1959, 5–13 Juni 1961 dan terakhir pada 29 September–1 Oktober 1964. Dalam setiap kunjungannya, Soekarno selalu bertemu dengan Khrushyev dan jajaran pimpinan Uni Soviet. Dalam tiap pertemuan, kedua kepala negara selalu menandatangani berbagai dokumen kerja sama di antara kedua negara.Pemimpin Uni Soviet Nikita S Khrushyev (baca: Khrusyov) pun akhirnya membalas kunjungan Soekarno, setelah sebelumnya, pada 1957 K. E. Voroshilov melawat ke Jakarta. Khrushyev melakukan kunjungan balasan pada 18 Februari–1 Maret 1960. Pertemuan Soekarno–Khrushyev dilakukan di Istana Bogor. Selama kunjungannya di Indonesia, pemimpin Uni Soviet ini berpidato di hadapan anggota parlemen Indonesia, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, di hadapan massa di Surabaya, bahkan sempat mengunjungi Bandung dan Bali.

Meski menyajikan secara runut momen-momen nostalgia pertemuan Khrushyev–Soekarno, bagi Kremlin, ternyata kunjungan presiden RI kedua Soeharto ke Uni Soviet menjumpai Mikhail Gorbachev (baca: Gorbachov) pada 1989, dianggap sebagai titik awal normalisasi hubungan Indonesia-Rusia yang membeku setelah 25 tahun sejak meletusnya tragedi politik di Indonesia, September 1965. Dalam kunjungannya lima hari itu (7–12 September), Soeharto menyatakan niat Indonesia untuk mempererat hubungan kedua negara. Soeharto yang juga sempat mengunjungi Leningrad (kini St Petersburg), dalam pertemuannya dengan Mikhail Gorbachev, menandatangani beberapa dokumen pernyataan persahabatan, kerja sama bilateral, dan komunike bersama.

Kremlin mencatat bahwa pada masa Federasi Rusia, kontak antara pemimpin kedua negara diawali ketika Presiden Vladimir Putin mengirimkan kawat kenegaraan pada 3 Februari 2000, dalam rangka 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Rusia. Tujuh bulan setelah kontak pertama yang diprakarsai pemimpin Federasi Rusia itu, Presiden Vladimir Putin dan Presiden Abdurrahman Wahid pun melakukan pertemuan bilateral di New York, 7 September 2000, di sela-sela agenda Millenium Summit. Kremlin mencatat peristiwa ini sebagai pertemuan tingkat tinggi pertama dalam sejarah hubungan RI-Federasi Rusia.

Kremlin memaparkan tiga pertemuan Presiden Putin dengan Presiden Megawati. Pertemuan pertama kedua kepala negara ini terjadi pada 19 Oktober 2001 di sela-sela agenda KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Shanghai, yang kedua terjadi di Moskow dalam rangka kunjungan resmi Presiden Megawati ke Rusia pada 20–23 April 2003, sedangkan pertemuan bilateral ketiga terjadi pada 20 Oktober 2003 di Bangkok, ketika kedua kepala negara menghadiri KTT APEC.

Menurut catatan Kremlin, selama masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Presiden Vladimir Putin mengirimkan dua kawat kenegaraan. Pertama, pada 13 Oktober 2002, terkait penyataan dukungan terhadap Megawati dalam menghadapi berbagai aksi terorisme di Indonesia. Kawat kedua dikirim pada 9 Oktober 2003 terkait kecelakaan tragis di Jawa Timur.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hampir genap tiga tahun. Namun, tampaknya kuantitas pertemuan Presiden Vladimir Putin dengan SBY telah memecahkan rekor. Catatan Kremlin menunjukan bahwa Presiden Rusia telah tiga kali bertemu presiden SBY. Pertemuan di Jakarta 6 September 2007 merupakan pertemuan keempat, dan jika diagendakan, pertemuan bilateral SBY–Putin di sela-sela acara KTT APEC di Australia akan merupakan pertemuan kelima.

Sejak terpilih sebagai presiden RI, Putin–SBY telah melakukan dua kali pembicaraan telepon, yang pertama pada 20 Oktober 2004, ketika Putin mengucapkan selamat atas terpilihnya SBY sebagai presiden RI. Sementara yang kedua, sehubungan dengan bencana tsunami 26 Desember 2004.

Selama hampir tiga tahun pemerintahannya, SBY telah menerima enam kawat kenegaraan dari presiden negeri beruang merah ini. Keenam kawat tersebut berhubungan dengan ucapan duka cita atas tiap tragedi besar yang menimpa Indonesia pada masa pemerintahan SBY, mulai dari bencana alam di Indonesia Maret 2005, kecelakaan pesawat di Medan September 2005, aksi teror di Bali Oktober 2005, gempa bumi Mei 2006, bencana alam di pesisir laut Jawa Juli 2006, sampai gempa bumi di Sumatera 6 Maret 2007.(*)

* Tulisan ini dimuat di Harian “Seputar Indonesia” (SINDO), September 2007.
**Henny Saptatia Sujai, PhD ilmu politik: kajian media-massa, bermukim di St Petersburg.

No comments: